Sunday, September 4, 2011

Permasalahan Migas Indonesia dan Pengaruh Ekonomi


     Permasalahan Migas di Indonesia dilihat dari sudut pandang pemerintah dalam menerapkan pengaruhnya dalam sistem ekonomi.

Indonesia adalah negara dengan kekayaan geologis yang potensial berupa migas justru kini sengsara oleh harga minyak yang melambung sehingga harga kebutuhan pokok juga ikut melambung. Indonesia sebagai produsen minyak secara logika sederhana seharusnya diuntungkan atas kenaikan ini. Kenaikan harga minyak dunia menyebabkan pemerintah menaikkan harga minyak nasional, yang belakangan menyusahkan lapisan masyarakat menengah kebawah.  Hal ini disebabkan status Indonesia yang saat ini adalah net importer minyak, dimana Indonesia sebagai produsen minyak tapi juga mengimpor minyak. Hal ini terjadi karena total produksi minyak nasional berkisar 962.811 barel per hari, sedangkan konsumsi dalam negeri berkisar 1.084.000 barel per hari, dimana 90% produksi minyak nasional diproduksi dari pihak kontraktor. Saat masalah kenaikan harga BBM terjadi, perjanjian bagi hasil migas menjadi sorotan, adapun sebagian besar pembagian hasil migas antara pemerintah dengan kontraktor adalah 85:15, di mana 85% untuk pemerintah dan 15% untuk kontraktor sudah termasuk pajak ( sehingga kenaikan pajak hanya mengurangi keuntungan pemerintah )  tapi angka ini tidak mutlak dimana pihak kontraktor dapat mengurangi persentase ini dengan mekanisme cost recovery. Artinya, semua biaya eksplorasi dan praproduksi menjadi tanggungan pemerintah. Ini menjadi sangat berat karena nilai cost recovery bisa mencapai US$9,03 per barel. Namun, itu semua tergantung pada ladang minyaknya, seperti di Natuna yang kondisinya unik dimana kandungan CO2 sangat tinggi, teknologi dan biaya pengelolaannya sangat tinggi sehingga pembagiannya hampir sepenuhnya milik Exxon mobil, pemerintah hanya beroleh pajak, karena memang pada dasarnya nilai harga pada minyak sepenuhnya berasal dari proses pengambilan dari dalam bumi dan pengelolaannya.



Ini akan menjadi dilemma bagi pemerintah, APBN harus segera diperbaharui atas kenaikan harga ini karena kebutuhan semakin meningkat, sedang untuk merubah perjanjian kontrak production sharing (KPS) dinilai akan ditentang oleh semua pihak kontraktor karena dinilai tidak menghormati kontrak yang ada. Pengurangan subsidi pun harus dilakukan sangat berhati-hati karena rakyat akan disusahkan akibatnya kestabilan negara pun akan terganggu. Sistem ekonomi di Indonesia yang bukan sistem komando hanya memberikan pemerintah dua tools untuk menerapkan pengaruhnya dalam kestabilan ekonomi, yakni: otoritas fiscal dan moneter. Otoritas fiscal adalah alat yang paling potensial bagi pemerintah untuk mengurangi dampak kerugian yang ada. Pada industri minyak ada hal-hal yang menyebabkan keuntungan yang tak terduga, salah satunya kenaikan harga minyak seperti yang terjadi saat ini. Pemerintah sudah sepatutnya meraih keuntungan juga dari hal-hal seperti itu. Pajak atas keuntungan tak terduga atau windfall profit ini akan mengurangi kebutuhan mendesak atas APBN. Kegiatan-kegiatan lain diluar sistem produksi yang dilakukan kontraktor sudah seharusnya diberi pajak, karena pasti memiliki motif ekonomi, seperti pemindahan ladang minyak dsb. Otoritas fiscal sebaiknya digunakan secara elegan oleh pemerintah untuk terwujudnya konsep sharing the pain dan sharing the risk and success bagi pemerintah dan kontraktor. Agar pemerintah dapat menjalankan fungsinya dalam sistem ekonomi, yakni: meningkatkan efisiensi, menciptakan pemerataan dan keadilan serta memacu pertumbuhan ekonomi makro dan mestabilisasikannya.


Arion Batara Purba Siboro

No comments:

Post a Comment